Ini perjalanan saya yang luaaaarrr biasa! Sepertinya tidak cukup memori fotografi saya  menampung pengalaman yang saya temukan sepanjang perjalanan ke kota ini. Ya, sungguh menyenangkan melihat Merauke dari dekat. Sejauh mata memandang langit tampak biru jernih. Di beberapa wilayah, hektaran sawah membentang bagai permadani alam. Menakjubkan. Hanya inilah kata yang sanggup saya ucapkan saat kedua bola mata saya menyaksikan semua keindahan itu.

Merauke tidak seperti yang saya bayangkan. Jauh dari kesan terbelakang. Penduduk kota ini sudah mampu berswasembada pangan. Tanah Merauke yang subur dan berair sangat cocok untuk tanaman padi dan palawija. Di daerah ini saya tidak melihat gunung menjulang. Bahkan, bukit setinggi 100 meter saja tidak ada. Semuanya hanya dataran dan rawa.

Ketika menjejakkan kaki di Merauke, saya berharap bakal bertemu Kepala Suku dan mencicipi makanan khas Papua. Semua bayangan itu pupus karena sesampainya di sana makanan pertama yang saya coba adalah Bakwan Malang. Rasanya sama persis seperti Bakwan Malang yang pernah saya cicipi di Jawa Timur. Hehehe… Warung bakso ini milik sebuah keluarga Jawa. Maka, gending Jawa pun mengiringi saya menyantap bakso yang terasa maknyuus di lidah. Hari-hari berikutnya saya tetap tidak berhasil menemukan makanan khas Papua.

Kata orang, Merauke adalah tempat penyebaran penyakit Malaria. Dari rumah saya sudah membawa bekal pil kina, bahkan meminumnya dua butir seminggu sebelum berangkat. Sampai di Merauke, saya tidur di Hotel Asmat yang kamarnya ber-AC dan kamar mandinya dilengkapi pemanas air. Kendati jauh dari kesan mewah, dalam pandangan saya hotel ini cukup representatif. Menjelang tidur, saya sudah bersiap-siap dengan lotion anti nyamuk. Ternyata saya tidak memerlukannya karena tidak seekor nyamuk pun yang berani datang ke kamar saya. Lagi-lagi saya kecele.

Saya minim informasi mengenai kota berpenduduk sekitar 175 ribu jiwa ini. Saya pikir kota ini rawan konflik sebagaimana kota-kota lain di Papua yang saya lihat dari berita di televisi. Tetapi, sekarang saya berani mengatakan bahwa Merauke berbeda. Selama tiga hari menjelajahi Merauke, saya melihat bahwa jumlah masyarakat pendatang di kota ini cukup signifikan. Keberadaan pendatang terlihat merata hingga ke pelosok Merauke. Sebagian besar dari mereka adalah para transmigran asal pulau Jawa yang datang ke Tanah Papua sejak 1960-an melalui program Transmigrasi Perintis. Para transmigran inilah yang menyulap rawa-rawa Merauke menjadi lahan pertanian yang subur, sehingga mampu menggerakkan perekonomian di daerah ini.

Sampai ke pelosok Papua — saya mendatangi kecamatan Sota di mana berdiri tugu kembar yang membatasi wilayah Indonesia Timur dengan Papua New Guinea (PNG) — saya kerap bertemu dengan orang-orang pendatang. Wakapolsek Sota, Aiptu Ma’ruf Suroto, yang membangun taman di tugu perbatasan Indonesia, aslinya adalah orang Magelang. Bahkan, Wakil Bupati Merauke, Waryoto, pun aslinya dari Purwokerto, Jawa Tengah.

Universitas Musamus Merauke

Saya berdecak kagum sekaligus penasaran. Di mana penduduk asli Merauke? ”Mereka ada di dua tempat. Di hutan sebagai pemburu, dan di pesisir pantai sebagai nelayan,” jawab Bupati Merauke Johanes Gluba Gebze. Di satu sisi, pembauran yang saya lihat di Merauke sangat positif. Itu berarti penduduk lokal bisa menerima para pendatang dengan tangan terbuka. Namun di sisi lain, saya prihatin terhadap kualitas SDM penduduk lokal. Keprihatinan yang sama dirasakan pula oleh Pak Bupati. Karena itu, untuk menjembatani agar tidak terjadi kesenjangan sosial, Pemda Merauke membangun Universitas Negeri Musamus (UNM). Universitas yang berdiri pada 2006 ini memiliki tiga fakultas, yaitu fakultas teknik, pertanian, dan ekonomi. Wah, benar-benar luar biasa!