Akhir November lalu, di Twitter ada seseorang yang bertanya ke pengusaha muda Sandiaga Uno. Pertanyaannya begini, “Kalo karyawan melakukan kesalahan fatal, apa yang bapak harapkan dari mereka?” Sandiaga menjawab, “Learn from the mistake. Give encouragement.” Menurut saya jawaban Sandiaga sangat bijaksana. Tertarik dengan jawaban tersebut, saya menulis status di Facebook dan menanyakan hal serupa. Tak lama kemudian, saya menerima beberapa komentar.
Ada yang berpendapat begini, “Beri kesempatan utk memperbaiki…#give a chance# gak ada yang sempurna. Mesin aja bisa malfunction…” Yang lain mengatakan, “Jika tidak berulang melakukan kesalahan, beri kesempatan untuk mengkaji dan memperbaiki kesalahan tersebut.” Teman lain mengakui bahwa setiap orang pernah melakukan kesalahan. Akan tetapi, katanya, di tempatnya bekerja kesalahan berarti sebuah penyimpangan. “So, we have 3 No Behaviour: No delay, No fraud, No special payment, complete with rewards and punishment,” ujarnya. Yang lain menambahkan, “Tapi biasanya ada SP (surat peringatan) 1, 2 dan 3.” Seorang pemimpin organisasi ikut berkomentar, “Usually the leader learn from the mistake means that he knows not to give the employee that will make the similar mistakes.”
Menyimak jawaban-jawaban di atas, saya menyimpulkan bahwa yang terpenting adalah karyawan menyadari kesalahannya, lalu belajar dari kesalahan tersebut dan tidak mengulanginya di kemudian hari.
Hanya saja, kita perlu hati-hati dalam menilai kesalahan seseorang. Menurut pengajar dari Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, Prof. Tb. Sjafri Mangkuprawira, kesalahan dapat ditinjau dari beragam perspektif. Ia mengaitkannya dengan standar baku yang sudah ditetapkan perusahaan atau standar nasional. Kalau terjadi deviasi, artinya timbul kesalahan. Ini bisa dilihat dari pelaksanaan proses dan hasilnya. Juga, telaah dari sisi perilaku atau sikap, serta tingkat pengetahuan karyawan.
Menurut Sjafri, yang harus dihindari adalah penilaian yang kental dengan unsur subyektivitas. Yakni, lebih banyak menggunakan unsur kesan ketimbang kondisi nyata. Bahkan sering tidak terhindari adanya unsur bias personal atau hello effect dan contrast effect. ”Penilaian tentang seseorang harus didukung fakta yang akurat,” katanya seperti tertuang dalam blog pribadinya, Rona Wajah.
Sjafri menyarankan, suatu penilaian terhadap karyawan sebaiknya berdasarkan pendekatan intelektual ketimbang hanya intuisi. Lebih diterima berdasarkan rasional ketimbang emosional. Artinya, jangan sampai suatu penilaian mengakibatkan sang karyawan langsung menjadi tertuduh. Ujung-ujungnya, sang karyawan bisa sakit hati. “Karyawan yang salah bukan berarti mutlak mereka kurang bernilai ketimbang karyawan lain. Semuanya harus ditempatkan secara proporsional. Kesalahan mereka masih bisa diperbaiki,” ujarnya. Untuk itu, Sjafri menambahkan, perlu dipertanyakan, misalnya, mengapa masih ada karyawan yang salah sementara proses pengembangan sumber daya manusia (SDM) telah dilakukan perusahaan? Apakah ada faktor lain yang menyebabkan karyawan salah? Apakah ada yang keliru menerapkan proses investasi SDM? Apakah ada yang kurang tepat dalam menerapkan gaya kepemimpinan oleh manajer? Apakah faktor imbalan (finansial dan non-finansial) kurang memadai diberikan pada karyawan? Ataukah faktor proses rekrutmen dan seleksi karyawan yang tidak berbasis kompetensi?
Setidaknya, ada beberapa implikasi dari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas yang menurut Sjafri perlu dikaji. Pertama, karyawan salah tidak ditentukan hanya oleh satu faktor. Pendekatan masalahnya harus berdasarkan faktor yang signifikan memengaruhi timbulnya kesalahan karyawan. Kedua, setiap penilaian terhadap perfoma dan perilaku karyawan seharusnya dilakukan secara obyektif dan mempertimbangkan unsur manusiawi. Artinya perlu didukung fakta akurat dan terpercaya.
Dan ketiga, lanjutnya, mitos bahwa seorang pemimpin tidak pernah salah harus dibuang jauh-jauh. Kalau tidak disingkirkan akan menyebabkan timbulnya egosentrik dan kekuasaan mutlak dari manajer. “Jangan sampai timbul kesan bukan karyawan yang salah tetapi karyawan yang disalahkan. Nendang kaki orang, sembunyi kaki sendiri,” ungkap Sjafri.
Untuk melengkapi tulisan ini, sebuah buku yang ditulis oleh Richard Parson dan Ralph Keyes berjudul Whoever Makes the Most Mistakes Wins – siapa yang membuat kesalahan terbesar biasanya menjadi pemenangnya – menarik untuk dipelajari. Dalam blog 1001 Motivation Articles, Yoliandri Susilo mengulas buku tersebut. Menurutnya, Parson dan Keyes menganjurkan untuk memotivasi karyawan yang berbuat salah. Metode ini disebut productive mistake-making alias membuat kesalahan yang produktif. Parson mengutip sejumlah kasus perusahaan yang dikenal inovatif, seperti Xerox dan Polaroid. Mereka mudah kehilangan daya imajinasinya karena bertahan pada sukses-sukses sebelumnya.
Sementara perusahaan seperti Coca-Cola justru bangkit dari kubur karena kesalahan besarnya saat meluncurkan New Coke. IBM juga tahan banting karena pernah diterpa sejumlah masalah, yang memaksanya melakukan reinventing. Bila kita amati, sejumlah kejadian dalam hidup ini justru ditopang kesalahan yang kita perbuat. Parson menyebutnya paradoks inovasi. Intinya, memotivasi orang berbuat kesalahan yang produktif.
Ia mencontohkan John Wooden, pelatih basket di University of California Los Angeles, Amerika. Selama 27 tahun sebagai pelatih, John tak pernah kalah satu musim kompetisi pun. Ia pernah menggiring timnya menang piala bergengsi kejuaraan olahraga antarperguruan tinggi (NCAA) selama 10 kali, tujuh kali di antaranya berturut-turut. Apa rahasianya?
Ternyata, John Wooden menerapkan teknik memotivasi yang sangat unik. Ia menggunakan jurus productive mistake-making. Ia mengajak anak buahnya bermain habis-habisan. Menang atau kalah, menurutnya, cuma efek sampingan. Kalau mainnya bagus, menang menjadi proses alamiah.
Hal yang sama dialami pelatih basket ternama, Phil Jackson, dari LA Lakers. Mulanya ia terobsesi menang sebagai hasil akhir. Lewat sejumlah pengalaman religius, ia berubah. Ia berkata, sukses akan terjadi bila Anda memiliki kesadaran penuh dan menyatu dengan semua peristiwa di sekeliling Anda. Sama dengan John Wooden, ia menganggap menang cuma efek sampingan. Metode ini membuatnya mampu mencetak pemain sekaliber Michael Jordan, Kobe Bryant, dan Shaquille O’Neal. Phil Jackson pun menjadi pelatih basket termahal dalam sejarah.
Parson berpandangan, kesalahan biasanya terjadi tanpa disengaja. Kesempatan belajar dan berinovasi akan terbatas jika kesalahan cuma datang sesekali. Ia percaya, kesalahan akan memunculkan inovasi. Memotivasi karyawan untuk berbuat kesalahan secara sistematis rasanya memang ide gila. Namun, Parson dan Keyes menulis, sukses dan gagal sama dengan prinsip zen soal terang dan gelap. Sukses tak akan ada tanpa kegagalan. Gagal tak akan ada kalau tak ada sukses. Kita membutuhkan keduanya. Daripada kegagalan menjadi beban, Parson dan Keyes menganjurkan kita menggunakan kegagalan dan kesalahan sebagai motivasi yang produktif. Setujukah Anda? Apakah siap untuk menerima kesalahan dan memperbaikinya?
Recent Comments