Zaman telah berubah. Kebutuhan hidup yang tinggi dan adanya keinginan untuk menyejahterakan keluarga sering kali menjadi alasan bagi seseorang untuk menyalahgunakan jabatannya. Bila dicermati, kini makin banyak berita di koran maupun televisi yang mengungkapkan kasus suap dan korupsi. Pelakunya bukan hanya warga biasa, tapi sering kali justru para pejabat yang menduduki kursi empuk di pemerintahan.

pexel.com

Saya bertanya-tanya, apakah mereka kekurangan gaji sampai harus menempuh risiko mengambil uang rakyat? Sebesar apa godaan yang dihadapi orang-orang di lingkungan politik dan pemerintahan sehingga tak sanggup menahan kilauan materi? Bagaimana bila saya yang berada di sana? Ketika sedang berandai-andai sendiri, saya teringat bapak mertua saya. Ia seorang pensiunan guru. Selama lebih dari 30 tahun mengabdi sebagai guru, dan terakhir menjadi Kepala Sekolah di salah satu SMA Negeri di Madiun, bapak mertua saya telah mendidik ribuan siswa. Saya yakin, murid-muridnya kini banyak yang telah berhasil dalam karier maupun bisnis.

Saat mudik lebaran beberapa waktu lalu, bapak mertua saya kedatangan dua muridnya. Ditilik secara fisik, saya menebak murid bapak yang datang berkunjung itu usianya sekitar 40-an tahun. Malam itu, dua murid bapak yang keduanya wanita itu menyerahkan hadiah berupa kaos dan uang senilai Rp 500 ribu. Salah seorang dari dua wanita itu mengatakan bahwa mereka baru saja menggalang dana dari para alumni untuk disumbangkan kepada guru-guru, baik yang masih aktif mengajar maupun yang sudah pensiun. Saya berpikir pemberian murid kepada gurunya adalah sesuatu yang wajar. Ya, bisa dikatakan sebagai tanda cinta.

Tapi, apa yang dilakukan bapak mertua saya? Ketika hadiah itu disodorkan kepadanya, ia hanya menerima bungkusan yang berisi kaos. Amplop berisi uang senilai Rp 500 ribu langsung dikembalikan kepada muridnya sambil berkata, “Terima kasih. Ini kaosnya saya terima. Tetapi uangnya saya kembalikan. Sebaiknya uang ini diberikan kepada orang lain yang membutuhkan.”

Hati saya bergetar mendengarnya. Mata saya berkaca-kaca. Dalam hati saya bersyukur memiliki bapak mertua yang jujur dan memandang pekerjaannya sebagai guru adalah pengabdian yang tulus. Padahal, saya tahu persis perjuangannya untuk menjadi guru tidak selalu mulus. Suami saya cerita pernah melihat bapaknya didatangi orangtua murid yang membawa golok lantaran anak dari orangtua tersebut tidak lulus. Tapi bapak tidak gentar. Keputusannya juga tidak goyah manakala dirinya diancam dengan golok sambil disodori uang dalam jumlah banyak, asalkan mau meluluskan anak itu.

Bapak punya alasan mengapa tidak meluluskan muridnya. Yang saya tahu, bapak sangat memerhatikan budi pekerti. Beliau memandang penting pendidikan karakter. Hal itu pula yang ia tekankan kepada putra-putrinya. Di zaman sekarang, kepala sekolah seperti bapak mungkin dianggap kejam dan tidak populer. Masak, sudah capek-capek sekolah selama tiga tahun tidak diluluskan? Tapi bapak punya pandangan berbeda. Baginya menjadi orang yang berkarakter jauh lebih penting daripada sekadar lulus SMA.

Kendati sudah pensiun, bapak tetap menerapkan disiplin terutama disiplin terhadap waktu. Beliau selalu menepati waktu dan tegas dalam mengambil keputusan. Saya perhatikan, setiap ada keluarga yang bermasalah, mereka pasti akan datang ke bapak untuk meminta nasihat.

Bapak mertua saya memang keras, sekeras batu karang yang tetap kokoh sekalipun dihempas ombak. Namun demikian, saya bangga padanya. “Guru adalah pekerjaan mulia,” suatu kali beliau berkata demikian.

Saya mengerti, apa yang bapak lakukan sebenarnya adalah memberi contoh untuk anak-anak, para menantu, dan cucu-cucunya. Di usianya yang sudah melampaui 70 tahun, Bapak tetap menunjukkan keteguhannya. Bapak tidak berpanjang lebar menceramahi kami mengenai integritas. Tetapi yang saya lihat dan saya dengar saat itu terus terekam dalam ingatan. Saya menyadari, bapak sedang memberi teladan. Itu melebihi apa pun yang disampaikannya dalam bentuk kata-kata.

Bogor, Sabtu, 2 April 2011