Photo by Andrea Piacquadio from Pexels

“Marah muncul dari dalam diri sebab kita merasa dunia ini berjalan tidak seperti yang kita kehendaki.” Kata-kata itu saya temukan di dalam buku Jalaluddin Rakhmat berjudul Tafsir Kebahagiaan. Saya pertama kali mengetahui buku ini dari seseorang yang saya anggap sebagai mentor saya dalam menulis, Hernowo Hasim. Suatu ketika, Pak Her – demikian sapaannya – mengupas buku Tafsir Kebahagiaan di salah satu milis yang saya ikuti. Saya terinspirasi dengan ulasannya dan tergerak untuk membeli buku tersebut. Benar saja, buku yang disarikan dari ceramah-ceramah Kang Jalal – panggilan akrab Jalaluddin Rakhmat – sangat dalam maknanya. Saya merasa buku ini mengingatkan saya tentang bagaimana mensyukuri hidup dan menikmati setiap detik yang kita lalui dengan pikiran positif.

Kita sering kali mengharapkan alam sekitar mau menuruti kemauan kita. Misalnya, Kang Jalal memberi contoh, kita ingin agar tidak ada yang menyalip mobil kita, kita menghendaki tidak terjadi kemacetan saat berangkat atau pulang kantor, kita ingin suami atau istri kita seperti ini jangan seperti itu. Dan, ketika semua itu tidak terjadi, kita pun marah. “Padahal seharusnya tidak demikian,” tutur Kang Jalal, “kita tidak bisa mengharapkan keadaan sekitar kita menjadi seperti yang kita inginkan dan alam di sekitar kita ada dalam kendali kita. Tapi, yang bisa kita kendalikan adalah diri kita masing-masing.”

Masalahnya, marah yang tidak dikeluarkan (disalurkan) akan menjadi emosi terpendam yang rasanya lebih menyakitkan. Menurut Kang Jalal, emosi yang dipelihara dalam hati itu dapat memperkeruh jiwa, membuat hati tidak sehat, dan menjadi pupuk yang menyuburkan kebencian. Namun jika kita melampiaskan marah kepada seseorang, salah satu akibat yang ditimbulkan adalah permusuhan. “Lihatlah, jika orang sedang marah. Akan muncul keburukan-keburukan yang lain, seperti umpatan, kekerasan, dan permusuhan,” kata Kak Jalal.

Bagaimana mengatasinya? Al Qur’an memberi petunjuk, obat untuk menyembuhkan penyakit hati adalah memaafkan. Dalam sebuah hadis dikisahkan, seorang sahabat pernah meminta nasihat kepada Rasulullah. “Jangan marah!” kata Rasulullah, memberikan nasihatnya. Sahabat yang bertanya itu tak serta-merta paham dengan nasihat yang singkat itu. Ia merenung sampai kemudian mengerti bahwa dalam marah terkumpul segala keburukan.

Berikut ini beberapa langkah yang disebut Kang Jalal dapat mengendalikan amarah:

  1. Mengidentifikasi penyebab marah. Terkadang penyebabnya adalah hal-hal yang sama.
  2. Menandai tanda-tanda munculnya kemarahan, agar tahu, kemarahan diri kita sudah benar-benar hilang atau sesungguhnya hanya terpendam sementara yang setiap saat bisa kembali meledak.
  3. Berwudu, seperti yang dianjurkan oleh Rasulullah. Marah berasal dari setan dan setan tercipta dari api. Dan, api akan redup jika disiram air. Maka, marah akan berhenti jika orang yang bersangkutan berwudu. Kemudian shalat, memohon pertolongan Allah agar kemarahan itu segera dipadamkan.
  4. Mengubah persepsi terhadap pemicu kemarahan. Terkadang, sesuatu yang membuat kita marah belum tentu juga dapat membuat orang lain marah. Tak ada salahnya kita melihat pemicu itu dengan sudut pandang orang lain, sehingga kemarahan tidak akan muncul.

Menurut Kak Jalal, ada beberapa efek kognitif yang timbul dari kemarahan, antara lain berpikir negatif. Secara otomatis efek ini muncul saat orang sedang marah. Maka, jika marah tak terkendali, orang cenderung akan mengungkit hal-hal negatif dari orang yang terkait. Contoh, saat keadaan normal seseorang mampu menyembunyikan aib orang lain. Tapi pada saat marah, ia seperti ingin menunjukkan semua aib orang yang membuatnya marah. Di matanya semua tampak buruk. Karena itu, marah yang dipelihara akan sangat membahayakan diri pelakunya.

Cara berpikir juga erat kaitannya dengan perilaku, termasuk kondisi tubuh. Kang Jalal memaparkan, ada sebuah penelitian terhadap tiga kelompok responden. Kelompok pertama diminta mengingat hal-hal buruk yang pernah mereka alami, lalu menuliskannya. Sedangkan kelompok kedua pada hal-hal yang baik. Sementara kelompok ketiga diminta mengingat dan menulis hal-hal yang baik maupun buruk secara berimbang. Hasilnya, dalam tempo tiga bulan, kelompok pertama rentan terkena penyakit, berkebalikan dengan kelompok kedua yang menjadi lebih sehat. Adapun kelompok ketiga berada dalam keadaan stabil. Memang, dibutuhkan latihan untuk berpikir positif dan memandang dunia dengan ceria, hingga akhirnya menjadi kebiasaan.

Efek kognitif lain dari kemarahan adalah mengakibatkan seseorang selalu berpikir evaluatif. Saat terbawa emosi, orang akan cenderung menilai orang lain dengan kata sifat, bukan kata kerja berisi alasan-alasan sehingga orang yang dimaksud akan paham. Misal, suami-istri sedang bertengkar. Salah satunya yang terbakar emosi mengatakan, “Kamu berengsek!” Menurut Kang Jalal, itu cara berpikir evaluatif. Lalu, orang yang dikatakan berengsek jadi bingung, kenapa dirinya disebut demikian.

Kang Jalal memberi contoh lain. Seorang guru mengatakan kepada muridnya “Dasar pemalas!” hanya karena murid itu tidak mengerjakan PR. Guru yang bijaksana tentu tidak akan berkata demikian. Katakanlah, “Kenapa kamu tidak mengerjakan PR?” Kalimat “Dasar pemalas!” selain menunjukkan bahwa guru tersebut kurang bisa mengontrol emosi, juga berdampak tidak baik bagi jiwa si murid. Kata sifat yang kita lontarkan kepada seseorang seperti memberi label bahwa orang tersebut seperti yang kita sebutkan, padahal belum tentu demikian.

Sebagai penutup, saya ingin mengutip kata-kata Kang Jalal yang menurut saya pantas direnungkan. “Kebahagiaan atau ketakbahagiaan bisa muncul dari bahasa atau cerita yang kita bangun sendiri. Salah satu kiat mengendalikan amarah adalah mengontrol bahasa yang dipergunakan di tengah kemarahan. Maka, jika kita ingin bahagia dalam hidup, ciptakanlah bahasa-bahasa atau cerita-cerita baik dan selalu membangun prasangka positif.”

Sumber: Tafsir Kebahagiaan karya Jalaluddin Rakhmat. Penerbit PT Serambi Ilmu Semesta, cetakan II, Juni 2010.

(Bogor, 3 Agustus 2011)